Kasih Sayang Orang tua

WhatsApp Image 2024-12-06 at 14.48.54

Author: Shindy F

Menulis dan membuat kolase.

March 25, 2025

Total Review Score: 0

PAKAI INI KALAU MAMA MATI.

Aku selalu menghela napas sekaligus mengurut dada setiap kali membuka pintu lemari Mama untuk meminjam bajunya dan harus membaca kertas berisi peringatan yang ditempelkan dengan selotip di atas tumpukan kain kafan putih.

Mempersiapkan kematian memang diperlukan, aku pun punya niatan untuk membeli kain kafan untuk diriku sendiri saat berulang tahun nanti. Namun, perlu kah menuliskannya dengan gaya kalimat seperti itu dengan huruf kapital semua?

Aku bisa membayangkan nada bicara Mama seandainya tulisan itu dibacakan. Tegas dan bernada mengancam, menyakinkan kami, anak-anaknya yang ditinggalkan, akan menyesali ketiadaannya.

Sambil mencari blus berwarna merah muda untuk menyesuaikan tema untuk acara makan siang kantorku hari ini, kalimat di kertas itu menjelma menjadi suara di dalam kepalaku. Karena aku tahu, aku memang akan menyesali ketiadaan Mama jika itu terjadi.

Saat Mama mengalami kecelakaan mobil lima tahun lalu, aku memohon pada Tuhan untuk menyelamatkannya. Aku rela mengorbankan apa pun, dan menjanjikan semuanya asal Mama selamat. Hatiku hancur membayangkan hidup tanpa Mama, apalagi setelah kepergian Papa tiga tahun sebelumnya.

Tuhan pun menjawab permohonanku dan aku menganggap sekarang sudah menjadi tugasku untuk memenuhi semua janji yang kusebut agar Mama tetap bisa bersamaku.

Karena itu juga, aku jadi lebih khawatir dengan Mama. Jika aku bertengkar dengannya, aku akan buru-buru minta maaf. Jika aku punya momen yang menyenangkan, aku selalu berusaha mengingat semuanya ke dalam ingatanku. Karena itu, aku pun mulai menulis jurnal untuk mendokumentasikan tiap momenku bersama Mama.

Jurnal ini yang akan menjadi mesin waktuku. Aku tahu aku tidak bisa mencegah takdir kehilangan. Tapi, setidaknya aku bisa kembali ke momen berharga kami sesering yang kumau. Seperti di pagi itu saat Mama dan aku hendak jalan kaki bersama. Saat itu, Mama terlihat kebingungan sendiri menyalakan jam tangan pintar untuk melacak langkahnya. Lalu aku meledeknya karena tidak kunjung hafal cara menggunakannya.

Kemudian, Mama berkomentar sambil memandangku yang sibuk mengutak-atik jam tangan pintarnya.

“Kamu jangan begitu sama Mama, suatu saat nanti kamu kangen sama momen-momen seperti ini.”

Aku pun terdiam. Bercanda atau tidak, ucapan seorang Ibu bisa jadi doa tanpa mereka bermaksud memintanya dan aku takut tidak lama hari terakhirku bersamanya datang. Jadi aku menulis momen itu. Bagaimana saat Mama mengucapkan kata-kata itu, aku menyadari setiap kerutan di sekitar matanya. Senyumnya yang tipis. Badannya yang semakin kurus dibalik pakaian olahraga berwarna merah muda lembut, siap untuk beraktivitas bersamaku.

Aku tahu aku akan tetap menyesal biar pun sudah berusaha memberikan yang terbaik untuknya.

“Dek, kamu lagi di kamar Mama ya?!” Seru Mama dari luar kamar.

Mama pasti baru pulang dari pengajian. Aku masih sibuk mengembalikan gantungan baju ke lemari satu per satu sebelum nanti dimarahi karena membuat seisi lemarinya berantakan.

“Iya, Mah!” teriakku.

“Udah ketemu?” Mama muncul di ambang pintu tepat di saat aku menutup lemarinya.

“Udah.”

“Untung kan, Mama punya bajunya. Makanya mama bilangin coba beli satu dua baju yang warnanya cerah, blus resmi rapih buat acara kantor. Ini warna hitam terus kaos melulu yang kamu beli, coba yang cerah dikit biarwajah kamu juga cerah.”

“Iya mah, nanti aku beli. Aku siap-siap ya,” kataku sambil melewati Mama kembali ke kamar.

“Ya udah cepetan deh, udah telat kan ini,” kata Mama sambil mengikutiku, “jangan kebiasaan janjian sama orang telat. Kamu gak menghargai waktu orang kalau kayak gitu. Gimana kalau orang datang ke acara kamu terus kamunya telat, pasti gak suka, kan?”

“Iya maaah, kan ini acara bebas. Aku ngikutin temanku yang mau bareng. Nah, dia baru mau berangkat sekarang.”

Seperti itulah gambaran keseharianku bersama Mama. Nasihat dan lengkap dengan sebab akibat.

Sore ini setelah aku selesai mencuci panci dan piringku agar bisa makan masakanku dengan tenang. Mama menangkap basah kalau aku meninggalkan banyak busa di bak cucian piring dan lupa menyeka genangan air di sekitar meja. Alhasil aku mendapat nasihat panjang kali lebar.

“Aduh, anak gadis udah gede, Mama bingung nanti gimana kehidupan rumah tanggamu kalau nyuci piring gak bersih. Apa komentar Mama mertuamu nanti. Gak resik. Busanya dimana-mana. Padahal mama udah contohin berulang-ulang,” kata Mama.

Mama menyiram dan mengeringkan bak cucian piring dengan kanebo sambil lanjut menceramahiku, “Terus ini pisau kan tempatnya di sini, ini tempat sendok harusnya. Gak pernah hafal yang mama ajarin. Mama doain deh semoga kamu dapat orang kaya biar punya pembantu sepuluh dan gak perlu ngurusin yang beginian kalau kayak gini caranya.”

Ada Abangku di sana, jadi dia hanya bisa menertawakanku. Karena malu aku menyahut dengan acuh, “Ih, Mama kenapa sih aku kan nanti juga bakalan cuci piring lagi habis makan. Itu belum selesai.”

“Nah, itu kebiasaan kamu. Bilang nanti bakal cuci, tapi nanti juga lupa. Gimana nanti kalau Mama nggak ada. Bisa gak kamu. Abang juga, cowok juga harus bisa bebersih loh.”

Abangku dan aku saling melirik. Kami sama-sama tidak suka kalau Mama sudah bawa kalimat tadi.

Sambil makan aku berpikir, mungkin saja aku dikirim oleh Tuhan menjadi anak yang sulit mengikuti ajaran Mama karena aku memang menjadi pengingat baginya kalau ia harus menurunkan ekspektasinya dan menerimaku apa adanya?

Di dalam jurnalku aku melanjutkan renunganku.

Kenapa ya para orang tua sering mengancam anak mereka dengan kalimat, “jika aku tidak ada nanti …” untuk mengungkapkan kesedihannya? atau kekecewaannya? Tidakkah mereka pernah berpikir mungkin saja keadaan bisa berbalik? Anak-anak mereka yang lebih dulu pergi, dan meninggalkan mereka dalam duka yang mendalam? 

Pernahkah seorang anak mengatakan, “Tunggu saja kalau aku sudah tidak ada!”?

Sebagaimana orang tua mencintai anak-anaknya tanpa batas, begitu pula anak-anak mencintai orang tua mereka sama dalamnya.

“Dek, lagi ngapain?” Mama tiba-tiba muncul di ambang pintuku setelah kejadian cuci piring yang masih memanas di kepalaku.

Aku buru-buru menutup buku jurnalku. “Iseng nulis aja.”

“Makan batagor di depan, yuk! Abang mau nitip aja, jadi kita aja makan di sana.”

“Yuk!” kataku langsung berdiri dan mengambil hoodie-ku.

Tadi itu cara Mama meminta maaf kepadaku secara tidak langsung. Aku tidak tahu sejak kapan mulai menyadarinya, tapi aku bisa merasakan setiap kali Mama habis berceramah sepert tadi dan aku mulai diam, biasanya ia akan membujukku dengan membuatkan sesuatu, mengajak pergi, atau sekadar bercanda.

Sesampainya kami di tempat batagor, duduk berhadapan dengan dua piring batagor serta es teh, kami mulai bergosip. Mama mengeluhkan temannya di pengajian dan aku mengadu soal bosku yang menyebalkan di kantor.

“Mah,” kataku setelah meneguk es tehku.

“Iya?”

“Aku tuh, gak suka kalau mama ngomongin soal nanti pas Mama udah nggak ada.”

“Loh, kenapa, kan Mama juga udah tua. Udah pasti itu. Tinggal nunggu Abang sama kamu punya keluarga masing-masing selesai tugas mama.”

“Tapi kan, aku maunya Mama ada sama aku bareng-bareng terus. Sampai aku punya anak.”

“Aamiin … Mama sih maunya begitu, tapi yang penting kamu udah ada yang jagain, Mama udah tenang.”

“Serius ihhh.”

“Mama juga.”

“Aku tahu mungkin kerjaan rumahku tuh, gak sesuai sama yang Mama ajarain. Tapi, aku tuh ingat. Kalau aku pas ngekos kayak dulu, aku tuh otomatis ngelakuin yang mama bilang.”

“Ah masa, pasti masih kurang bersih deh.”

“Mama ih, gak percayaan sama aku.”

Mama tertawa, lalu tiba-tiba memandangku lekat-lekat.

“Iya, Mama percaya kamu anak gadis Mama yang baik, pintar, cantik walaupun suka malas beberes, susah ngerjain kerjaan rumah, tapi hebat bisa cari uang. Mama bangga sama kamu dan abang!”

Aku langsung memasukkan potongan tahu segitiga ke mulutku sampai penuh dan sibuk memandang piringku, tidak ingin Mama melihat mataku yang mulai berair.

“Kalian anak-anak Mama gak pernah macam-macam. Jadi Mama percaya kalian bisa bawa diri kemana pun itu. Mama juga selalu doain kamu, biar kerjaannya berkah, dapat jodoh yang baik dan bagus ibadahnya. Udah itu aja, Mama udah tenang ninggalin kamu.”

“Ah, Mama selalu gitu deh, ujung-ujungnya,” kataku sambil mengambil tisu dan mengusap air mataku yang menggenang.

Sore itu aku mengingat kata-kata Mama. Aku yakin, selain aku, Mama juga selalu merekam lekat-lekat momennya bersamaku. Aku tidak tahu kapan waktu yang kuhabiskan dengan Mama berakhir, tapi aku bertekad untuk terus menulisnya agar kenangan kami ini tidak lekang oleh waktu.

 

 

0 Reviews ( 0 out of 0 )

0 Comments

Submit a Comment

You cannot copy content of this page