Tren konten “We listen and we don’t judge” tengah menjamur di media sosial. Khalayak berduyun-duyun ikut menyemarakkan tren, melalui perspektif dan pendekatan masing-masing. Termasuk para pasutri yang melalui tren ini, akhirnya bisa menumpahkan keluh kesah yang sebelumnya selalu dipendam. Terlepas dari keluhan tersebut murni kejujuran masing-masing pihak atau berdasarkan skrip, tren ini menjadi pengingat bahwa komunikasi menjadi pondasi penting dalam suatu hubungan.
Beberapa menit sebelum menulis esai ini, saya baru saja menonton reels tentang seorang lelaki yang ternyata ingin menghabiskan akhir pekan dengan bermalas-malasan. Namun, niat tersebut urung dilakukan demi menemani kekasihnya jalan-jalan sebagai pelepas rindu setelah lima hari tak bertemu. Pada akhir video, tampak pihak perempuan hanya diam dan (saya asumsikan) merasa bersalah karena selama ini telah mengganggu waktu istirahat pasangannya.
Saya lantas teringat pada salah satu cerita pendek yang pernah saya temukan dari linimasa BukuMuka beberapa tahun silam. Meski saya membacanya saat awal remaja, cerita tersebut masih terngiang hingga sekarang. Begini lebih-kurangnya:
•••
Alkisah, hiduplah sepasang pasutri yang saling mencintai. Mereka adalah pasangan romantis yang saling melengkapi satu sama lain. Kedua sejoli itu hidup dengan sederhana, tetapi toh tak pernah sedikit pun merasa kekurangan.
Suami mencari kayu bakar ke hutan di belakang rumah, sementara sang istri menyiapkan bahan panganan untuk diolah. Istri mengelola kebun di pekarangan, sementara sang suami memelihara aneka unggas di peternakan. Kebun dan peternakan tak pernah membuat mereka kelaparan. Makanan favorit keduanya adalah daging ayam. Digoreng, dibakar, pepes, sop, garang asem, hingga opor; apa saja.
Jika istri memasak ayam, ia segera menyendok pupu ke piring suaminya. Dan sementara itu, sang suami akan menyendokkan swiwi ke piring istrinya. Lantas keduanya makan dengan riang dan lahap, sembari memburas di sela kunyah lauk dan lalap. Begitu selalu. Sejak awal mereka menikah, hingga sekujur kulit kian merekah.
Suatu ketika, saat fajar belum sepenuhnya tiba, sang suami terkulai di atas dipan. Matanya setengah terpejam, tetapi raganya terjaga. Mulutnya menganga saat sang istri hendak membangunkan ia untuk sembahyang. Istrinya panik, tapi sang suami tersenyum.
“Tolong ke belakang, Sayang. Lihatlah, masih ada berapa ayam di kandang?”
Dengan alis saling bertaut, sang istri berlari ke halaman belakang. Ia segera kembali secepat yang ia mampu. “Masih ada lima yang besar, Pak. Sisanya masih anak-anak.”
“Sembelihkan satu untukku. Aku ingin makan ayam pagi ini,” ujarnya dengan suara parau. Kemudian, “Aku ingin makan swiwi.”
Istrinya terkejut, tapi tetap menurut. Disembelihnya ayam babon yang paling gemuk. Segera ia menjarang air. Diguyurnya air panas ke atas ayam yang terkapar, demi memudahkan memungut bulu-bulu di sekujur badan. Ayam itu ia rebus cukup lama. Ia masak dengan sayur mayur dari kebun, menjadi sop ayam yang sangat empuk dan gurih.
Sang istri menyendokkan swiwi ke dalam mangkuk, sembari bertanya-tanya dalam batin, “Bukankah selama ini ia tak suka swiwi?”
Sang suami kepayahan duduk bersandar bantal. Ia menolak tawaran suap dari kekasihnya yang telah renta. Disendoknya dua potong swiwi secara bergantian, ia makan dengan sangat khidmat. Seolah ini makannya yang terakhir, sehingga sengaja mengenyam rasa agar tertinggal di lidah. Sebagai bekal kematian, kalau-kalau ia rindu masakan istrinya di surga. Namun, kenapa swiwi?
Setelah sarapan tandas tak bersisa—bahkan sekadar bercak kuah yang berjejak di mangkuk, sang suami menatap mata istrinya dalam-dalam. Tatapan yang sama seperti saat mereka pertama berjumpa. Tatapan yang persis ketika ia menyatakan cinta. Tatapan yang juga ia pancarkan ketika berikrar atas nama Tuhan di hadapan massa. Lalu:
“Sayangku, aku tahu ini hari terakhirku bersamamu. Aku sungguh menyayangimu, semua tentangmu, cantik dan keriputmu, senyum dan cemberutmu, peluk dan pundungmu, kasih dan welasmu. Terima kasih engkau telah mau menerima kepapaanku, hidup payah dan seadanya bersamaku. Namun, pada kesempatan terakhirku ini aku ingin mengungkapkan kejujuran yang selama ini sengaja kusimpan.”
“Sayang, ketahuilah, bahwa sesungguhnya aku tidak menyukai pupu. Dagingnya terlalu tebal. Aku lebih senang menyesap tulang dan menguliti swiwi. Namun, terima kasih. Tanpamu, mungkin aku tak pernah tahu rasa pupu. Terima kasih pula karena engkau mau makan swiwi pemberianku, makanan kesukaanku, wujud cintaku kepadamu. Terima kasih telah memberiku perjamuan terakhir dengan makanan yang sangat aku rindukan.”
Kemudian, sang suami membenamkan tubuh. Menutup mata. Mengembus udara sebanyak yang ia bisa—sebagai bekal ke surga, bersama sisa rasa swiwi yang terakhir. Ia dikubur di halaman belakang, di dekat kandang dan empang kesayangan. Bersama nisan yang secara khusus dipesan:
“Telah pulang, Fulan. Tidur dalam damai, setelah makan swiwi ayam. Pagi hari, sebelum langit menyala lantang.”
Di sampingnya, sang istri berjongkok merenung. Dipandangnya tulisan dalam nisan tanpa berkedip barang sedetik. Hatinya penuh sesak dan sesal. Sebab ia juga mengorbankan pupu kesukaannya, sebagai bakti istri kepada suami. Direlakannya rasa gurih dan kenyal, demi sang suami mendapat gizi lebih tinggi. Dilahapnya kulit swiwi yang dagingnya amat tipis, demi menyenangkan hati suami.
Ternyata selama ini, keduanya saling melahap bagian ayam yang tak disukai dan menganggap pengorbanannya yang paling berarti.
•••
Saya tak tahu pasti, cerita itu nyata atau fiksi belaka. Kisah pasutri bersama pupu dan swiwi mengingatkan saya, bahwa (merasa telah) berkorban dan bermesraan tak selalu menyenangkan hati pasangan, apabila komunikasi tidak jalan. Tak hanya dalam hubungan berkasihan, dalam hubungan yang lain pun demikian. Kepada teman, orang tua, saudara, semuanya.
Seringkali kita merasa sudah paling banyak berkorban demi mempertahankan suatu hubungan. Meski sebetulnya tidak nyaman berada di posisi ini karena harus merelakan hal-hal yang disenangi. Pasutri dalam cerita di atas mungkin beruntung karena effort mereka saling terbalaskan, mereka juga mau menerima dan mencoba menikmati pemberian satu sama lain. Namun, pada kenyataannya kan tidak selalu begitu.
Di luar sana, barangkali banyak orang yang pengorbanannya tak berbalas, tetapi juga tak tahu cara mengomunisasikannya atau malah tak mendapat kesempatan untuk mengungkapkan karena pihak lain tidak mau mendengarkan.
Dalam pelbagai konten, kelas, dan diskusi; kita sering dianjurkan untuk belajar mengekspresikan pikiran dan perasaan, jangan terlalu sering memendam, serta cara mengesankan orang lain melalui berbicara. Namun, sangat sedikit ruang yang mewadahi diskusi dan/atau pelatihan tentang betapa pentingnya serta cara-cara mendengarkan.
Bahkan dalam obrolan basa-basi bersama kawan pun, mendengarkan menjadi skill yang jarang dimiliki. Kita cenderung akan self centered, berbicara tentang kita, kesulitan kita, pencapaian kita, keresahan kita; dan ketika orang lain hendak mengungkapkan hal yang sama, kita akan merasa tidak diperhatikan. “Malah adu nasib,” begitu bahasa media sosialnya. Tidak sedikit manusia yang selalu ingin didengarkan, tetapi minim kesadaran untuk mendengarkan orang lain.
Bahkan dalam konten “we listen and we don’t judge” pun, seringkali berujung pada pertikaian karena salah satu pihak tidak mau mendengarkan pengakuan pihak lain. “Mendengarkan” di sini tentu bukan semata-mata menangkap suara dan menerima pesan dari komunikator. Lebih daripada itu, mencakup pula memahami kondisi dan latar belakang dari pesan yang disampaikan, sehingga komunikan terbebas dari bias dan penghakiman.
Tulisan ini sekaligus menjadi renungan untuk saya pribadi, perihal seberapa jauh saya telah berusaha mendengarkan dan memahami. Bagaimana denganmu?
Catatan:
Pupu = paha ayam
Swiwi = sayap ayam
0 Comments