Hampir sembilan tahun. Kurang sebulan saja dan kita akan merayakan ulang tahun hubungan kita. Tapi takdir berkata lain. Sebulan terakhir itu, yang seharusnya penuh kebahagiaan dan harapan masa depan, justru menjadi awal dan akhir segalanya. Mimpi-mimpi yang dulu kita bangun bersama kau memilih berhhenti di tengah jalan, meninggalkan aku sendiri melanjutkan langkah.
Aku masih ingat bagaimana hubungan kita dimulai. Kau datang ke dalam hidupku seperti angin segar, membawa impian dan kebahagiaan yang selama ini aku impikan. Kita saling melengkapi berbagai tawa, kesedihan, mimpi dan perjalanan panjang yang terasa begitu menjanjikan. Kita melewati banyak hal bersama mulai dari jatuh bangun menyelesaikan akademis, dan pekerjaan hingga rencana-rencana besar yang kita susun dengan antusias. Tapi waktu dan kenyataan ternyata punya waktu yang berbeda untuk menulis cerita.
Awalnya,semuanya tampak baik-baik saja. Namun, sering berjalannya waktu, aku mulai merasakan jarak diatara kita. Kau mulai sibuk dengan duniamu dan aku mencoba memahami. Aku percaya, ini hanya fase. Aku percaya, cinta kita cukup kuat untuk melewati segalanya.
Tapi aku salah……
Dalam hubungan yang panjang, cinta saja ternyata tidak cukup. Pelan-pelan, aku mulai merasa ada yang berbeda. Pesan-pesanmu tak lagi sesering dulu. Panggilan telefon terasa seperti formalitas. Kau semakin mudah marah setiap kali aku menghbungimu. Banyak hal berbeda lain yang tidak pernah kamu lakukan kau lakukan. Aku berusaha menepis fikiran buruk, mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya masalah waktu, hanya Karna kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.
Semuanya berubah di bulan terakhir itu. Aku mulai mendengar bisik-bisik dari teman-teman, cerita – cerita samar tentang dirimu dan seseorang dari kantormu. Awalnya, aku menganggapnya angin lalu. Aku percaya padamu, lebih dari siapapun. Tapi takdir kepercayaanku diuji ketika aku melihat bukti-bukti kecil. Perubahan sikap yang sulit dijelaskan,dan bagaimana kau mulai menghindari pertanyaanku.
Akhirnya, aku tak bisa menahan diri. Malam itu, aku bertanya langsung padamu. Kau terdiam cukup lama, dan dalam hening itu, aku tahun jawabannya. Kau tak perlu mengatakan apa-apa kau yang menghindar, telah berkata lebih dari cukup.
Hati ini hancur. Sembilan tahun, kurang sebulan, semuanya berakhir begitu saja. Aku minta mengakhiri hubungan ini dengan menahan segala rasa sakit dan berusaha tetap tegar ketika kau memberikan alasan palsu bahwa kau sedang tidak ingin menjalani hubungan dan mengatakan jika kau masih sangat mencintaiku. Tapi begitu kau meninggalkanku, aku jatuh. Rasanya seperti dunia runtuh dan aku tak tahun bagaimana cara membangunnya kembali.
Hari-hari setelah itu seperti mimpi buruk yang tak berujung. Aku terjabak dalam kingkaran kenangan dan harapan, mengingat setiap momen manis yang pernah kita lalui. Aku mencoba mencari dimana letak kesalahanku, apa yang kurang dariku, apa yang membuatmu berpaling. Tapi jawaban itu tidak pernah datang.
Namun, waktu adalah penyembuh, meski lambat dan menyakitkan. Aku mulai mencoba bangkit, satu langkah kecil demi satu langkah kecil. Aku menata ulang hidupku, mencari kebahagiaan dari hal-hal sederhana yang dulu sering aku abaikan. Aku menulis lagi, sesuatu yang pernah menjadi pelarianku sebelum aku mengenalmu. Aku bertemu orang-orang baru, menemukan di luar bayang-bayang hubungan kita.
Sembilan tahun kurang sebulan, aku takkan pernah melupakan waktu itu, Karna ia adalah bagian dari hidupku. Tapi aku memilih untuk mengingatnya sebagai pelajaran, bukan sebagai luka yang terus aku bahwa. Kau adalah bagian penting dari ceritaku tapi kau bukan akhir dari ceritaku.
Kini, aku tahun bahwa hidup itu selalu menawarkan awal baru, bahkan setelah kehilangan yang paling besar sekalipun. Aku akan terus melangkah membangun kembali mimpi-mimpiku, meski kau tak lagi bagian darinya. Dan suatu hari nanti, ketika aku melihat kembali ke masa lalu ini, aku akan tersenyum, bukan dengan penyesalan tapi dengan rasa syukur. Sebab, tanpa kehilangan ini, aku takkan pernah menemukan kekuatan untuk bangkit dan mencintai diriku sendiri.
0 Comments