Hari Pertama

WhatsApp Image 2024-12-06 at 14.48.54

Author: mifrah disni

love the life you live. live the life you love.

March 9, 2025

Total Review Score: 27

Malam ini, langit memeluk sunyi lebih dalam. Bulan sabit menggantung rendah, menandai hilal yang baru saja terlihat. Tetapi di hatiku, tidak ada gemuruh suka cita seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya kelelahan yang mengendap. Pikiranku berputar seperti pusaran air tanpa muara.  

Mungkin ini hanya letih. Atau mungkin, imanku sedang redup, terhimpit oleh banyaknya beban yang tidak kunjung selesai. Sejak awal tahun, cobaan datang, silih–entah kapan berganti menjadi bahagia.

Satu per satu, orang-orang terkasih jatuh sakit, kontrol kesehatan, masuk rumah sakit, lalu terkulai lemah. Sakit lagi. Kontrol lagi. Seakan semesta sedang menggilir kami, menakar ketahanan tubuh dan batin dengan cara yang tidak pernah kuduga.

Aku pun masih berdiri di persimpangan: menentukan sebuah pijakan dan pekerjaan apa yang akan kupilih. Sementara dalam berkarya–yang selalu kuyakini sebagai jalanku–sesekali semangatku menyapa lalu menghilang. Ada tawaran pekerjaan, tetapi terasa tidak sejalan dengan hatiku. Ada proyek yang tampak menjanjikan, ternyata penipuan.

Aku tidak ingin kembali ke lingkungan yang sama: tempat ibadah terasa seperti rutinitas tanpa jiwa. Aku ingin menjadikannya tempat pulang yang memelukku erat, bukan tempat yang lebih menyerupai kungkungan.

Dan di antara semua itu, ada luka kecil yang belum kunjung sembuh. Tentang seseorang yang pernah menjadi cahaya di jalanku. Ia yang tanpa sadar memantik semangatku untuk berkarya, untuk tumbuh. Namun, kini ia telah menemukan jalannya sendiri, beriringan dengan seseorang yang bukan aku, meninggalkan jejak yang tidak bisa kuhapus begitu saja.

Aku ingin berkata bahwa aku baik-baik saja. Namun, dalam sunyi, aku mengingkarinya. Hingga pada akhirnya, semua luka itu, menjadi kawan keseharianku.

Seperti tadi pagi, aku duduk di ruang tunggu rumah sakit di bagian instalasi jantung, menatap kosong ke arah luar jendela.  

Kepada pohon itu  

yang daunnya bergoyang

karena tertiup angin.  

Aku menatap pohon kiara payung yang berada di pinggir jalan, tepat berada di depan pintu masuk instalasi jantung. Ia berdiri tegak, patuh, tidak melawan. Membiarkan daunnya terombang-ambing, ke mana pun angin menerpanya. Bahkan, ia pun siap jika harus dihempaskan, tumbang kapan pun semaunya angin.

Seperti bapak, yang kini tertidur pulas di kursi ruang tunggu, untuk periksa kesehatan jantungnya. Seperti aku, yang hanya bisa menunggu di sebelah bapak, ditemani “Tirai Menurun”-nya Nh. Dini.  

Seperti bapak-bapak lain di ruangan ini—yang menggigit bibir menahan nyeri, yang isak tangisnya sampai terdengar oleh orang lain yang juga menunggu panggilan, yang tangannya menggenggam dada dengan gemetar, yang matanya berkaca-kaca mendengar suara pasien lain yang dipanggil terlebih dahulu.  

Mungkin, seperti inikah rasanya?

Cosplay di Padang Mahsyar.

Menunggu panggilan sebuah nama kita,

yang entah sampai kapan terkatung-katung?

Sebentar-sebentar, aku memandang angka-angka antrian yang bergerak lambat.  

“A-22”.  

Bukan.  

“A-23”.  

Bukan.  

Seperti nama yang tidak kunjung dipanggil, seperti doa-doa yang entah kapan didengar dan dikabulkan. 

***

Tiba-tiba gawai berbunyi. Ibu memanggil.

“Bapak sudah dipanggil dokter atau belum, Kak?” suara Ibu memecah keheningan sekitar karena sengaja aku loudspeaker.  

“Belum Bu,” jawabku lemas sambil menghela napas, lalu mengangkat kepala, menatap bapak yang ternyata masih terlelap.  

Ibu terdiam sejenak, lalu berkata, “Nggak papa, Kak. Puasa hari pertama memang selalu terasa berat, ya?”

Aku mengangguk pelan, meskipun Ibu tidak bisa melihatnya.  

“Dulu, rasanya aku begitu antusias. Namun, sekarang aku nggak tahu lagi apa yang aku tunggu dari Ramadan,” suaraku lirih, nyaris tenggelam di antara suara perawat yang memanggil para pasien rawat jalan untuk cek tekanan darah dan masuk ruangan dokter.

“Mungkin benar, Ramadan memang bukan selalu tentang euforia. Kadang, ia datang justru saat kita sedang lelah.” Aku bergumam sendiri, tetapi ternyata panggilan dari Ibu belum kumatikan. Kubiarkan Ibu mendengar suaraku.

Lalu, aku diam. Tidak ingin, lebih tepatnya lelah untuk berkata-kata.

“Tetapi tahu nggak? Justru di saat seperti ini, kita bisa lebih dekat dengan diri sendiri. Dulu, kamu selalu sibuk ke sana kemari. Sekarang, mungkin waktunya kamu diam sebentar. Mendengar hati sendiri,” kata Ibu dalam gawai.

Aku ingin membantah, ingin bilang bahwa aku terlalu lelah untuk mendengar apa pun. Tetapi suara Ibu terdengar begitu lembut, penuh pemahaman. 

Kesepian kini menjadi teman yang diam-diam mendekap erat. Pikiranku seolah memutar film dokumenter tahun-tahun lalu. Dulu, penuh dengan riuh rendah tawa, rencana buka bersama, tarawih di masjid mana, berburu kajian agama, bersama kawan-kawan di mana-mana. Seolah dunia penuh dengan berbagai kemungkinan di sana.

Kini, semua tinggal lalu. Seolah ada jarak panjang yang terbentang. Hanya seberkas kenangan yang masih tertinggal. Tidak seberapa, tetapi masih lumayan jika dihitung jari. Sementara kini aku di sini, tidak ke mana-mana, menjalani rutinitas yang tidak lagi sama.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh lagi ke luar jendela.  

Ia pun patuh,  

menurut saja.  

Bahkan ia mau saja jika harus,

menumbangkan dirinya.  

Seperti pohon itu.  

Seperti bapak.  

Seperti aku.  

Ramadan datang seperti embusan angin malam. Dingin, lembut, tetapi membawa pesan yang dalam.  

Mungkin, ia tidak selalu datang dengan suka cita dan euforia. Tidak selalu membawa ketenangan di awalnya. Kadang, Ramadan hadir justru saat kita sedang kelelahan. Saat hati keruh. Saat segalanya terasa berat.  

Tetapi bukankah itu alasan mengapa ia datang?  

Untuk mengetuk hati yang lelah. Untuk membasuh luka-luka kecil yang belum sembuh. Untuk mengajarkan bahwa kesabaran bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang bertahan di tengah ketidakpastian.  

Aku kembali menoleh ke arah bapak.  

Tangannya yang masih memegang buku bacaan bergerak sedikit dalam tidur. Napasnya naik-turun pelan. Kupandang wajahnya lamat-lamat, ada jejak kelelahan di wajahnya.  

Tangan kananku mengambil buku yang masih dalam genggaman bapak. Pelan. Khawatir bapak terbangun. Sementara tangan kiriku memegang gawai, mendekatkan ke telinga.

“Bu, kalau aku nggak tahu harus berdoa apa, aku harus gimana?” tanyaku, setengah berbisik.  

Ibu terdiam sejenak di seberang gawai, lalu berkata, “Mulai dari yang paling sederhana. Minta hati yang lebih lapang. Supaya kamu bisa tetap melangkah, meski tertatih. Supaya kamu bisa tetap percaya, meski jalan masih gelap. Supaya kamu bisa menemukan cahaya—bukan di luar sana, tetapi di dalam dirimu sendiri.”  

Aku menarik napas panjang, menutup mata sejenak.  

Seperti halnya “Tirai menurun”,

kita hanyalah para anak wayang

yang tinggal menjalani setiap adegan

entah ke mana 

dan sampai mana

kehidupan akan membawa kita pergi dan kembali. 

Dan ini semua, hanyalah permulaan. 

3 Reviews ( 9 out of 10 )
Ahmad Alvin Sandy Mudzakir
Ahmad Alvin Sandy Mudzakir
9/10

Deep

Nadila Rizky
nadila
9/10

keren banget kak

Octa Nurhasanah
9/10

Ngebacanya bikin terbawa suasana. Tahu-tahu udah sampai akhir.... 🌺🌺🌺

0 Comments

Submit a Comment

You cannot copy content of this page