Hari itu, aku disuruh menulis sebuah surat.
Pensil 2B dalam genggamanku yang akan kugunakan sudah mulai tumpul karena terlalu sering untuk menulis. Warna birunya sudah mulai terkelupas. Kertas di hadapanku pun tidak kalah usangnya. Maklum, karena kertas sisa corat-coret menghitung Matematika. Aku menggigit ujung pensil, berpikir keras apa yang harus kutuliskan.
Guru SD-ku yang memberi ide itu. Entah apa tujuannya.
“Coba tulis surat untuk diri kalian di masa depan, saat kalian sudah dewasa. Mungkin sepuluh atau lima belas tahun yang akan datang. Kira-kira pesan apa yang ingin kalian sampaikan untuk diri kalian?”
Aku melirik teman-temanku yang sudah mulai menulis. Ada yang menulis dengan begitu antusias, ada yang malas-malasan, ada yang malah sibuk menggambar di pojokan kelas, ada yang hanya diam melamun, entah apa yang ada di pikirannya, bahkan ada yang tertidur pulas dengan menyandarkan kepalanya di atas meja karena kelelahan selepas pelajaran Penjasorkes. Aku menghela napas, lalu memutuskan untuk memaksakan diriku untuk menulis.
“Untuk diriku di masa depan ….”
Aku menulis tentang impianku pada hari itu, suatu hari nanti—tentang bagaimana aku ingin tetap bisa tersenyum bersama teman-temanku, tentang bagaimana aku ingin tetap punya semangat yang sama, ingin sukses dengan cara dan jalanku sendiri, dan tentang seseorang yang diam-diam kusukai. Jika suatu hari nanti aku bertemu dengannya lagi, aku ingin tahu apakah perasaan itu masih ada atau tidak.
Setelah selesai, aku melipat kertas itu dan menyelipkannya rapat-rapat di bawah tumpukan buku. Serahasia mungkin. Membiarkannya tertutup oleh waktu. Entah sampai kapan.
***
Hari ini, aku duduk di meja panjang sebuah restoran terkenal di kotaku, menatap wajah-wajah yang dulu pernah kukenal begitu dekat, begitu lekat dan hangat. Beberapa dari mereka ada yang tertawa dan bercanda seolah tidak ada yang berubah. Entah perjalanan apa yang telah mereka lalui dan lewati selama tiga belas tahun setelah kelulusan kami. Satu per satu dari kami yang baru datang langsung menghampiri meja yang sudah kami pesan sebelumnya. Ada yang langsung tahu di mana letak meja pesanan kami dan ada yang perlu mengamati lekat-lekat meja demi meja baru kemudian menemukan meja yang dituju.
Aku pun memilih untuk datang lebih awal, demi bisa mengamati wajah teman-temanku yang diliputi kebingungan dan canggung itu. Sesekali kami menyapa dengan mengernyitkan dahi—merasa asing tapi rasanya begitu dekat. Kami pun bersalaman dengan kikuk dan enggan memanggil namanya, takut salah orang dan salah nama karena entah apa gerangan yang telah mengubah wajah kami. Rasa-rasanya juga tidak pantas jika harus berkenalan kembali.
Sampai detik ini, aku masih tidak menyangka akan ada pertemuan ini, setelah tiga belas tahun berlalu. Semua ini berawal dari keisenganku mengajak Sari untuk buka puasa bersama. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengiyakan ajakanku. Saat inilah, ingatan akan surat itu menyeruak kembali ke permukaan. Kupikir selagi aku di rumah, inilah kesempatanku untuk melipat dan merekatkan kembali yang sempat terpisahkan oleh jarak dan waktu. Melalui ketelatenan Sari untuk menghubungi teman-teman satu per satu hingga pesan tempat untuk acara, kami semua bisa dipersatukan kembali.
Di titik pertemuan ini, rasanya waktu seakan tidak pernah benar-benar bergerak. Ada sesuatu yang tetap utuh—tawa yang mengalir tanpa beban, percakapan yang terasa akrab meski jarak pernah memisahkan. Sejenak, kami kembali ke masa di mana cinta memiliki bentuk yang sederhana, di mana pertemanan tidak diukur dengan untung dan rugi, di mana yang paling kami cemaskan hanyalah bagaimana caranya menyelesaikan PR Matematika sebelum bel berbunyi. Dan cerita khayalan ibu peri yang selalu menjadi andalan.
Aku ingat betul bagaimana dulu kami begitu percaya pada dongeng dan cerita fantasi yang terasa begitu nyata. Aku, misalnya, begitu yakin bahwa ibu peri benar-benar ada, sampai-sampai sekarang pun aku masih bisa merasakan jejak khayalan itu dalam ingatanku. Ah, betapa naifnya kami dulu—percaya begitu saja pada kisah-kisah ajaib yang kini terasa konyol.
“Iya benar. Kamu masih ingat ‘kan Put dongen ibu peri itu? Sumpah ya kenapa aku dulu begitu percaya. Tanggung jawab nggak lo, hahaha!” kata Sari sambil terbahak. Ternyata bukan hanya aku yang percaya kepada khayalan itu.
“Aku masih ingat waktu kita dihukum berdiri di depan kelas gara-gara mendapatkan nilai 20 saat pelajaran matematika!” seorang teman lain berkata, disambut tawa yang pecah.
“Aku pun kalau ingat pas kamu sama Dini jatuh dari sepeda dan bajunya sobek sampai sekarang masih terpingkal-pingkal, hahaha!” Sukma langsung menimpali dengan cerita lain.
Lalu, ada kenangan tentang bersepeda beramai-ramai, tentang mencuri jambu tetangga dengan rasa deg-degan yang justru membuatnya semakin manis. Tentang permen karet yang menempel di rambut dan akhirnya rambut yang tergerai indah itu harus dipotong dengan berat hati. Tentang berlarian di halaman sekolah, bermain kejar-kejaran hingga napas tersengal. Tentang cinta pertama yang hanya bisa dipendam, yang diam-diam kita simpan, dan kalau namanya disebut bergetarlah hatinya. Tentang cerita-cerita tentang masa depan yang dulu terasa begitu jauh, tapi kini, meski terasa sudah di depan mata, masa depan pun masih terasa jauh. Lalu, sebenarnya di mana dan kapan masa depan itu?
Aku tahu, kami semua telah banyak berubah. Waktu telah membawa kami ke kehidupan yang berbeda-beda. Selama kurang lebih tiga belas tahun ini, entah perjalanan seperti apa yang telah mereka lalui, orang-orang seperti apa yang telah mereka temui, atau keputusan-keputusan besar apa yang telah mereka buat dan ambil. Kadang aku penasaran, bagaimana hidup telah membentuk mereka hingga hari ini ya?
Kini, sebagian dari kami telah menjadi ibu, merawat anak-anak kecil yang mungkin sebentar lagi akan memasuki dunia sekolah dasar. Ada yang sedang hamil, mempersiapkan kelahiran buah hati pertama. Ada yang baru saja menikah, ada yang masih dalam fase pencarian, dan ada yang bahkan belum memikirkan pernikahan sama sekali. Ada yang sibuk membangun karier, mengejar ambisi yang tak pernah padam. Ada yang menjadi pegawai, ada yang masih bertanya-tanya tentang arah hidup. Ada yang sudah merasa mulai tua karena kini dipanggil ‘Mama’, ‘Bunda’, ‘Ibu’, ada juga yang masih merasa muda dengan mimpi-mimpi besar yang menunggu untuk diwujudkan.
Namun, di tengah semua perubahan itu, aku masih bisa melihat sisa-sisa masa lalu dalam diri mereka. Cara mereka tertawa, cara mereka menggoda satu sama lain, cara mereka memanggil satu dengan gaya dan panggilan khasnya dan hanya kami yang mengerti. Kami mengerti bahwa kini sudah bukan anak-anak lagi, tapi di dalam hati kecil kami, kami masihlah anak-anak yang dulu berlari di halaman sekolah, mencontek saat ulangan dengan diam-diam, takut dimarahi oleh guru, dan berbagi tawa tanpa peduli apa yang akan terjadi esok hari.
Sungguh, betapa ajaibnya waktu. Ia mengubah segalanya—mimpi, peran, cara pandang—tetapi di antara segala perubahan itu, ada yang tetap bertahan: Kenangan-kenangan itu, persahabatan ini, perasaan ini, dan hati kami.
Dan perihal suratku dulu yang salah satunya tentang perasaanku kepada seseorang. Aku tidak menyangka bahwa hari ini ia datang. Aku menatapnya yang berada di ujung meja. Kali ini aku tersenyum, tapi bukan karena perasaan yang dulu pernah ada. Aku tersenyum karena akhirnya, aku bisa melihat masa lalu dengan cara yang baru. Aku akhirnya bisa menertawakan diri sendiri yang dulu begitu mudah terbawa perasaan. Dan saat itu aku tersadar—ini adalah momen yang dulu aku bayangkan dalam suratku.
Sebelum pulang, aku pun sempat bercengkerama dengannya.
“Hai!” katanya.
Aku tersenyum. “Hai.”
Percakapan singkat, tapi dalam detik itu, aku menyadari sesuatu. Jantungku tidak berdebar seperti dulu. Tidak ada perasaan gugup atau malu seperti ketika aku melihatnya dari kejauhan di halaman sekolah. Dulu, aku mungkin akan segera menunduk atau berpura-pura sibuk, tapi sekarang? Aku hanya merasa… lega.
“Masih suka menulis?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terkejut. “Kok tahu?”
Dia terkekeh. “Dulu kamu sering bawa buku catatan kecil. Kadang aku lihat kamu menulis di pojok kelas waktu yang lain main.”
Aku tertawa kecil. “Ya, sesekali aku masih menulis.”
Lalu percakapan mengalir begitu saja. Tentang bagaimana hidup telah membawa kami ke tempat-tempat yang tidak pernah diduga sebelumnya, tentang bagaimana kami pernah bekerja di kota lain, tentang bagaimana masing-masing dari kami telah tumbuh.
Sejenak, aku merasa seperti kembali ke masa lalu.
Tapi aku tahu, aku bukan lagi anak kecil yang sama.
Saat aku dalam perjalanan pulang malam itu, aku teringat surat yang kutulis dulu. Aku tidak tahu di mana surat itu sekarang, mungkin sudah hilang bersama buku-buku lamaku. Tapi isinya? Aku ingat dengan jelas.
Aku tidak pernah menyangka bahwa kata-kata yang kutulis untuk masa depan benar-benar menjadi kenyataan. Namun, yang lebih mengejutkan lagi, aku tidak pernah menyangka bahwa yang paling berubah bukan dia, bukan mereka, melainkan diriku sendiri.
Aku kini paham bahwa masa depan bukanlah sesuatu yang bisa ditunggu. Ia datang begitu saja, di antara percakapan yang mengalir, di antara tawa yang pecah, di antara kebersamaan yang terasa begitu nyata, di antara hari-hari yang telah dilewati. Dan di antara semua itu, aku menemukan satu hal yang paling berharga—aku telah tumbuh.
Dan mungkin, itulah alasan mengapa aku menulis surat itu dulu. Bukan untuk menemukan jawabannya, tapi untuk memahami bahwa aku tidak akan pernah menjadi anak kecil yang sama lagi. Bahwa aku akan terus berjalan, berubah, dan menemukan diriku yang baru di setiap langkah yang kuambil.
Lipatan kenangan yang tertulis dalam sepucuk surat dari masa lalu itu akhirnya terbuka, bukan oleh tanganku, tapi oleh waktu. Dan jawabannya? Aku telah menemukannya di dalam diriku sendiri.
0 Comments