Rasanya kayak masuk ke dalam keseharian rakyat 1930-an.
Harga-harga pasar, situasi politik, film dan sandiwara yang sedang tayang, kasus-kasus kriminal hingga kisah unik yang tidak saya temukan di buku sejarah. Kehidupan mereka saat itu juga sehidup seperti yang kita jalani sekarang.
Mari saya bawa ke dalam keseharian si ‘Gen Kolonial’ yang menjalani bulan Ramadhan kala itu:
Di tahun 1930-an, persis kayak sekarang, hari pertama puasa itu dinanti-nantikan dan diribut-ributkan. Masyarakat juga bertanya-tanya ‘kapan sih hari pertama puasa?’
Apalagi dulu, mana ada pengamatan hilal secanggih sekarang. Perbincangan hangat ini tertulis di koran-koran:
Permoelaan poeasa. Permoelaan poeasa bagi moeslimin. Disini sama djoega dengan lain tempat “jaitoe tidak sama waktoenja”. Ada jang moelai hari Senen dan ada poela hari Selasa. (Pemandangan, 23-12-1933)
Belum ada TV kayak sekarang, belum ada teknologi speaker masjid yang modern untuk ngasih tau penduduk kapan waktu imsak dan berbuka, ya kan? Gen kolonial, terutama di desa-desa, pakai suara-suara nyaring seperti suara bedug dan petasan. Tak hanya itu, mereka juga kreatif memanfaatkan apa yang ada—jika di sekitar desa terdapat pabrik dengan peluit nyaring, mereka akan meminta pihak pabrik membunyikannya sebagai tanda berbuka.
Zaman itu juga belum ada iklan Marjan yaa..! Tapi koran-koran penuh dengan iklan meriah menyambut bulan puasa. Dari iklan sepatu, toko pakaian, sembako, hingga minuman berbuka, semuanya berlomba-lomba menarik perhatian pembaca. Sini, saya tunjukin satu gambarnya:
Juga, di bulan Ramadhan, kehidupan perkotaan itu nggak luput dari berbagai godaan bagi Gen Kolonial. Misalnya, mereka rela melewatkan tarawih demi menonton aktris favoritnya tampil di sandiwara, sama kayak sekarang: fomo, gak mau ketinggalan yang lagi trend.
Saat itu, artis sandiwara punya popularitas yang bukan main. Karena film kan teknologinya masih tahap awal, jadi pertunjukan teater atau sandiwara itu hiburan favorit mereka. Aktris yang mereka idolakan salah satunya adalah ‘Miss Riboet’, seorang bintang teater terkenal dengan pesona yang luar biasa. Unik yaa namanya? (Di lain waktu akan saya ceritakan kisah menakjubkan dia!). Aktris populer ini pintar bermain peran, hingga masyarakat selalu antusias menyambut pertunjukannya. Sampai-sampai seseorang di surat kabar bilang, kalau Miss Riboet menggelar pertunjukkan sampai lebaran, bisa jadi masjid dan langgar bakalan kekurangan orang:
Sedang Indonesiers djoega tida maoe ketinggalan meski di boelan Poeasa djoega banyak Indonesier jang meninggalken kewadjibannja sembahjang teraweh terlebih perloe nonton Miss Riboet, Penoelis brani pastiken djikaloe Miss Riboet maen di Pasar Senen sampe abis Lebaran, boleh djadi di mesdjid dilanggarlanggar koerangan orang sembajang teraweh.” (Bintang Timoer, 12-03-1927)
Perayaan lebaran juga dirayakan penuh suka cita, malam takbiran penuh dengan suara mertjon (petasan) yang terdengar dimana-mana. Sampai-sampai orang Eropa, saat perayaan ini, nggak bisa tidur dengan nyenyak! Riuhnya mudik membuat kewalahan N.I.S. (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij – Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda). Stasiun tumpah ruah oleh masyarakat yang ingin mudik ke kampung halaman. Tahun 1930-an, meski ekonomi lagi tidak baik-baik aja (karena terjadi depresi ekonomi), tapi suasana lebaran terasa hangat dan meriah. Mungkin karena kedermawanan semakin meningkat di bulan suci, atau bisa jadi, seperti yang dicatat dalam koran-koran Eropa saat itu, banyak orang mendapat pinjaman lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan hari raya.*
Lebih dari satu abad yang lalu, di tengah penjajahan—yang sering kita bayangkan penuh konflik dan peperangan—hidup tetap berjalan seperti biasa. Keseharian mereka tak jauh berbeda dengan kita hari ini; hanya alat dan teknologinya saja yang berubah. Gen Kolonial, layaknya Gen Z, juga mengidolakan aktris berbakat dan mempesona. Mereka pun turut meributkan satu hal yang sama setiap tahunnya: kapan awal puasa tiba. Perayaan lebaran juga gak afdol kalo nggak berebut tiket kereta api.
Pada akhirnya, sejarah bukan hanya tentang peristiwa besar dan tokoh penting, tetapi juga tentang kehidupan sehari-hari yang terus berulang dalam pola yang familiar. Membaca koran lama bukan sekadar melihat masa lalu, tetapi juga menemukan refleksi dari kehidupan kita saat ini—membuktikan bahwa meskipun zaman berubah, esensi manusia tetaplah sama.
——-
*Het Lebaran Feest, Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 1930
3 Reviews ( 9.7 out of 10 )
Seru banget. Ditunggu sejarah selanjutnya yang akan diulas nantinya ya ka 🙂
Ngebacanya seruuuu ... banget! ☕☕☕
seru banget bisa mengintip balik kehidupan sehari-hari di era kolonial dari koran-korannya. ternyata kita tidak banyak berubah, ya :p ditunggu tulisan berikutnya~
0 Comments