Saya sangat menyukai hal-hal ringan dan menyenangkan –juga menenangkan. Mungkin karena itu, dalam menulis sejarah pun saya lebih suka pendekatan yang serupa: menyenangkan, dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan tidak terlalu sarat dengan intrik kekuasaan, perebutan tahta, atau kisah-kisah kudeta yang rumit seperti yang biasa saya temukan di buku-buku sejarah sekolah. Bagi saya, sejarah juga bisa dituturkan dengan cara yang hangat, ringan, tentang keseharian masyarakat biasa, yang menikmati hidupnya di masa itu.
Saya suka melihat apa yang saat ini ada, kehidupan ringan, selintingan berita, hiburan menyenangkan dan kemudian merefleksikannya seratus tahun kebelakang. Bagaimana bentuknya seabad lalu? bagaimana kebiasaan masyarakat di zaman itu?
Masa lalu dan masa kini punya pola yang sama. Berulang –namun juga tidak berulang.
***
Kali ini saya mau cerita kisah seorang kenalan, perempuan. Dia lahir bulan Desember tahun 1900. Aku mengenalnya lewat lembaran lusuh yang termakan usia. Dia masih hidup disana.
Dia menikah dengan lelaki berdarah Tionghoa, namanya Tio Tek Djien. Seorang pebisnis ulung. Ayahnya adalah seorang tentara di Kotaraja Aceh.
Kenalanku ini adalah perempuan yang lincah & berani. Mungkin karena didikan ayahnya yang yang disiplin ala ‘tentara’, karakter kuat nya terbentuk. Dia bukan perempuan kemayu yg feminim, tapi begitu tertarik dengan seni musik dan seni sandiwara teater. Entah sepertinya ada darah seni yang mengalir di dalam dirinya, sehingga nada dan alunan musik terdengar mudah di telinga nya. Mudah diingat, mudah dihafalkan. Seolah ini adalah bakat alami yang dia punya.
Suaminya seorang pebisnis yg gigih. Bisnisnya tidak main-main: dia mendirikan pasar malam yang megah dan meriah.
Pasar malam itu dinamai ‘Orion-Park’. Gerbang masuk taman hiburan ini berdiri memukau dengan lampu-lampu gemerlap, menyambut orang-orang yang ingin bersenang-senang di sana.
Stand-stand yang beraneka ragam, restoran-restoran, carousel uap-yang menjadi daya tarik besar, taman luas untuk menari, serta berdiri dua tenda besar di tengah-tengah pasar malam. Tenda ini merupakan ruangan untuk pertunjukan-pertunjukan memukau: Pertunjukan wayang, sandiwara, nyanyian, tarian.
Kenalanku ini, mengisi hiburan pertunjukan di tenda pasar malam milik suaminya. Semua orang bersenang-senang. Semua orang menikmati akting, nyanyian, tarian dan selipan-selipan humor.
Namun sayangnya, bisnis ini tidak berjalan mulus. Entah apa penyebabnya, taman hiburan ini tutup begitu cepat, hanya hitungan bulan, menyisakan dua tenda pertunjukan yang masih bertahan.
Hei, justru dari sinilah kisah petualangan kenalanku dimulai.
Kegagalan ini tak pernah mematahkan usaha mereka. Tio memulai kembali dengan apa yang tersisa: dua buah tenda pertunjukan. Ia segera menyadari bahwa tenda pertunjukan itu masih diminati, bahkan ketika pasar malam mulai kehilangan daya tariknya. Ia juga melihat bakat luar biasa istrinya di atas panggung—dan sejak itu, ia sepenuhnya mendukung istrinya untuk melebarkan sayap di dunia pertunjukan.
Dengan tekad yang bulat, Tio menjual seluruh perabot sisa pasar malam dan membeli perlengkapan baru. Ia memutuskan memboyong tenda pertunjukan itu berkeliling ke berbagai kota di seluruh Hindia-Belanda. Ia mentransformasikan bisnis pasar malamnya menjadi sebuah perusahaan teater keliling, membawa pertunjukan dari satu kota ke kota lain.
Ya, kenalanku ini dikenal dengan nama panggung yang unik: Miss Riboet.
Nama yang memikat rasa penasaran banyak orang—dan siapa sangka, nama inilah yang kemudian melambungkan kariernya, menembus batas wilayah Hindia-Belanda.
Dengan waktu singkat Miss Riboet merajai pertunjukan di Hindia-Belanda. Namanya terdengar dan menjadi primadona di mana-mana. Bakat bermain peran, bernyanyi dan penguasaan panggung yang sepenuh hati membuat ribuan mata terkesima. Publik dimanapun selalu antusias. Bahkan (seperti dalam tulisan saya sebelumnya) publik sampai rela meninggalkan Tarawih demi menonton Miss Riboet.
Karirnya melesat, menarik ribuan penonton yang bahkan dari penduduk Eropa. Sebuah kemajuan luar biasa dari teater Melayu yang ‘seringkali’ dianggap rendah oleh orang-orang berkulit putih.
Dengan kegemilangannya, Miss Riboet memiliki banyak kesempatan untuk berkarir sampai ke Hollywood. Beberapa peluang-peluang itu menghampiri dia. Namun sayang, kenalanku ini lebih mencintai tanah airnya, ia tak mau berpisah dengan ‘Sambal’ katanya saat di wawancara dengan jurnalis sebuah surat kabar. Alasan sederhana itu memiliki makna yang dalam: Ia ingin tetap di sini, di Indonesia yang belum merdeka kala itu, memajukan seni dan teater pribumi dengan sepenuh hati..
(Miss Riboet ketika menjadi bintang iklan sebuah Bedak)
Bersambung..
*Notes:
Kisah ini bukan lah fiksi, tapi potongan-potongan fakta yang saya kumpulkan dari arsip dan koran-koran lama, yang saya interpretasikan dan sajikan dengan gaya sastra.
**Beberapa Sumber primer:
[1]“Orion Park Te Pekalongan,” De Preangerbode (Bandoeng, July 14, 1923), 160 edition.
[2] “Uit Pekalongan,” De Preangerbode (Bandoeng, September 14, 1923).
[3] Het Een En Ander over Den Stamboel. Wat Di Tooneel Was, Wat Het ‘Orion Gezelschap’ Te Semarang Brengt, ‘Miss Riboet’ Geinterviewed.,” De Locomotief, June 18, 1927.
[4] “Achter de Schermen van Den Stamboel. Wat Het Publiek Niet Ziet, Een Kijkje in ‘de Keuken’ Achter de Coulissen,” De Locomotief, June 22, 1927.
[5] W.K, Miss Riboet wil niet naar Hollywood “Daar is immers geen sambal” De Telegraaf 11-11-1934
2 Reviews ( 9 out of 10 )
'Kenalanku' ,, pandailah engkau membawa pembaca untuk tertarik kepada masa lalu. Ditunggu cerita tentang kenalanmu yang lainnya.
'Kenalanku' ,, pandailah engkau membawa pembaca untuk tertarik kepada masa lalu. Ditunggu cerita tentang kenalanmu yang lainnya.
0 Comments