Lelaki tua itu lahir dengan sifat jahat. Dia gemar berteriak, memaki-maki, tak pandang tempat, situasi, dan siapa orang-orang di sekelilingnya, ia tanpa memiliki sedikit saja rasa malu berteriak-teriak memanggil istrinya ketika dia membutuhkan sesuatu. Dan istrinya dengan tergopoh seperti anjing kurus penyakitan yang ketakutan dipecut lantaran membangkang akan berlari menuju ke arah teriakan itu.
“Ada apa Kak?” tanya dia dengan suara gugup serta kaki gemetar. Ia mendekat seolah sore itu tidak terjadi apa-apa, tapi bila kau melihatnya dari jarak sekilan, kau akan menyaksikan ada sekilas raut penuh rasa takut, mata yang redup dan kecut, dan lihat pula tangan perempuan kurus itu, ia meremas daster buruk rupa yang sudah layak dijadikan lap tahi ayam. Pertanyaannya, menurutku, sebenarnya sederhana saja jika kau masih berpikiran normal. Dia hanya memastikan jika permintaan lelaki jahat yang memanggil-manggilnya itu tidak salah dengar. Namun, tahukah kau kalau dia menikahi bukan sebangsa manusia, bahkan jika dia memiliki wujud serupa manusia, dia lebih mirip seekor macan kumbang yang memiliki jiwa-jiwa iblis kuno yang bersemayam dalam kepalanya. Kendati demikian, itu hanya semacam pengandaianku belaka, rasanya iblis pun tidak bisa seenaknya dipersalahkan atas segala kekejian, kebinatangan, dan ketidakmanusiawian lelaki itu. Dia memang secara alamiah jahat, aku tidak punya padanan kata lain untuk menggantikan kata jahat agar jahat terdengar lebih halus, tanpa nada penghakiman, dan agar pria ini diperlakukan seolah-olah dia manusia. Dia jahat. Titik. Kejahatannya sudah melebihi ambang batas untuk hanya dianggap spektrum. Kurasa darah, tulang, dan warna otaknya sudah menghitam selaras dengan hatinya yang gelap, picik, keji, dan bangsat.
Baiklah, aku akan melanjutkan kejadian yang seterusnya terjadi ketika wanita itu sehabis bertanya. Detik kemudian mata pria itu membesar, dadanya kembang kempis, lalu dengan sekuat tenaga ia akan mendorong kepala perempuan itu sehingga jika sendi tulangnya tidak cukup kuat menopang hampir bisa dipastikan tempurung itu terlepas dan bergulir-gulir di tanah. Aku memang bilang suaminya sudah cukup tua, tapi belum cukup lemah untuk dikatakan tidak berbahaya. Bangsat ini berbahaya dan tak dapat disepelekan. Belum setahun lalu kejadian dia mematahkan gigi dan kaki pemuda liar yang menantang si tua bangka ini bertengkar. Asal kau mau tahu, nyaris si pemuda besar mulut mengalami keompongan dini.
Tapi pada petang hari ia mendorong kepala istrinya sampai terduduk itu, ia tidak menyangka bahwa wanita yang dilihatnya lemah, layu, jelek, tidak punya semangat hidup, hingga menjadi bulan-bulanannya selama ini, tanpa disangka-sangka mengambil sebilah kayu yang tertancap sebagai pembatas tanah itu lalu memukulkannya ke kepala si bangsat tua tanpa sempat lagi mengelak. Dia menjerit aduh mulanya, namun sebelum mulutnya menjerit makin keras, wanita yang mungkin sudah lelah kepalanya didorong dan dibentak-bentak tanpa asbab itu langsung memukuli dengan membabi-buta berkali-kali, berkali-kali, yang bahkan babi-babi pun bila tidak buta pun akan kocar-kacir melihat adegan melegakan pemusnahan bangsat tua tak tahu budi dan adab itu. Jadi, jeritan pria tua itu lenyap ditelan bunyi gebukan yang keras. Entah apakah badan, kepala, atau cuma tanah yang digebuk-gebuk wanita itu hingga meremuk, yang jelas darah mengalir kental di tanah dan percikannya menyebar di daster batik lusuh kuning bermotif bunga-bunga miliknya.
Orang-orang yang memang sedari tadi berdiri di sana seakan kehilangan mulut seketika. Belum pernah seumur-umur mereka melihat adegan drama kesedihan dibalas tuntas dengan adegan kekejaman dan kengerian secara spontan dan tak dapat dicegat. Beberapa terdiam dengan mulut ternganga, tidak terima atas kematian si bangsat jahat. Lainnya diam menenggak ludah, barangkali hendak menjerit-jerit, namun dalam hati mereka segera timbul kelegaan. Kematian ini adalah yang ditunggu-tunggu. Si bangsat bebal dan menjijikkan sudah berhasil dibinasakan. Setidaknya talang ini sudah kehilangan ancaman. Macan kumbang sudah dilenyapkan.
Tetapi adegan itu tadi, hampir tidak mungkin terjadi seandainya si istri tidak mendengar hal paling buruk dari mulut suaminya. Biar kukatakan, si istri ini sudah lama menikah dan sudah kebal menjadi samsak tinju suami pemarahnya. Suaminya pun sudah menikah dua puluh kali baik sebelum dan sesudah menikahinya. Tua bangka itu bahkan pernah memerkosa gelandangan, seorang janda baik-baik hingga mati, tapi si istri dapat dipastikan belum pernah marah sebesar ini. Dia kerap dicemooh oleh semua orang lantaran sifat sabarnya yang setali tiga uang dengan sifat bodohnya. Bahkan seekor babi diancam tombak memilih lari kocar-kacir, sementara ia sudah diacungkan segala jenis senjata sampai pernah dilempar asbak kaca pun tetap bertahan. Sekiranya kesabaran sebesar itu membuatnya selama ini menua bersama tanpa niat melarikan diri, mengapa ketika justru sudah peyot, ia malah menyerahkan dirinya menjadi penghuni penjara selamanya. Bukankah kemarahan ini artinya sedemikian besarnya, bengkaknya, dan bernanahnya, hingga tiada lagi tertahankan, menjadi dorongan ingin menghabisi nyawa orang yang memang sudah sebegitu lama layak dihilangkan?
“Kau bilang aku mandul,” kata wanita itu tertawa bersama genggaman kayu di tangannya terjatuh. Ia tertawa sekeras-kerasnya membuat semua orang terpana pada tindakan ketidakwarasan yang berhenti menjadi tawa getir yang memilukan.
“Kau bilang aku mandul, setelah sekian istrimu yang kau nikahi tak satu pun beranak, dan berani-beraninya kau katakan aku mandul. Cabul jahanam!” lolongnya. Ia terduduk. Memukul-mukul tanah. Tanah berdarah yang didiami koyakan kulit dan daging renyuk. Aroma anyir dan debu semerbak di depan gubuk perempuan itu.
Sejumlah polisi tak lama kemudian datang menjemput si perempuan yang kini tidak lagi tertawa. Dia dipaksa berdiri. Begitu bangun dan mengangkat wajahnya, ia terlihat merah berseri. Ia pun tampak gagah daripada kelihatannya saat digiring menuju mobil di tengah kerumunan orang berjubel ingin melihat pemandangan brutal di dusun mereka. Namun tak satu pun terdengar orang memakinya, mengutuknya, atau menyebutnya jahat. Hanya ada seorang pemuda berjalan pincang menatap dari jauh tidak senang. Kurasa ia malu karena dirinya bahkan dikalahkan seorang perempuan yang tampak lemah dan diremehkan.
02/03/2025
3 Reviews ( 9 out of 10 )
Salam kenal Mas Eka, tulisannya baguuus!
Review sambil tes notif. 😁
Menarik!
0 Comments