“Jam berapa ke sini? Rendangnya sudah siap, untuk dibawa pulang juga ada.”
Tiap Idulfitri, tanpa absen Amih—kakak dari ibuku—akan selalu membuat sewajan penuh rendang. Tentu, pada mulanya Amih tidak membuat rendang untukku. Rendang adalah hidangan lebaran bagi keluarga besar kami, wajib tersaji di atas meja selepas menunaikan solat Id.
Aku tidak ingat betul sejak kapan Amih mulai menyisihkan rendang untukku tiap kami sowan ke rumahnya, tapi aku ingat semuanya dimulai saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Di satu Idulfitri, aku yang tengah duduk bersila sambil mengunyah rendang dan sambal goreng kentang berkata, “Rendangnya enak, Mih. Boleh ambil lagi?”
Dengan senyum lebar, Amih bangkit dan membawakan sepiring penuh rendang—tentu bukan hanya untukku, perutku tidak mampu menampung rendang sebanyak itu. Setelah meletakkan piring itu di depanku, Amih berkata, “Ambil lagi! Di dapur juga masih banyak. Nanti waktu pulang Amih bungkuskan.”
Ibu dan kakak-kakaknya memang jago memasak, tapi terutama masakan Amih selalu membekas di lidah. Tiap kami berbincang soal masak-memasak, Ibu selalu berceloteh, “Amih itu tidak pernah mau asal-asalan kalau sudah soal memasak. Semua harus premium. Makanya kue kering Amih selalu laku keras. Amihmu itu bahkan tidak pernah mengambil untung banyak, padahal harga bahan baku naik terus.”
“Mm. Kastengel dan putri salju buatan Amih memang nomor satu. Wangi, tekstur yang lembut dan lumer di lidah. Tapi, dibanding kue kering, aku lebih suka rendang buatan Amih.”
Bagaimana aku harus menjelaskannya?
Rendang yang Amih buat bukan rendang Padang yang dimasak hingga kering—kami orang Sunda, jadi tentu saja rendang yang kami buat penuh dengan bumbu yang masih basah. Saat aku meletakkan sendok di atasnya, dagingnya terpotong dengan mudah. Lembut di lidah dengan rempah yang melimpah. Bumbunya bahkan sering kucampur dengan nasi hangat—meski tanpa daging, aku tetap menyantapnya dengan lahap.
Rendang buatan Amih adalah pemeran utama di tiap Idulfitri.
Meski begitu, beberapa tahun ke belakang, Amih sudah tak mampu berdiri berlama-lama untuk memasak rendang. Tentu, rendang tak pernah absen di meja, tetapi jumlahnya tak pernah sebanyak dulu. Sendi-sendi Amih sudah mulai kewalahan. Putra-putrinya—sepupu-sepupuku—bahkan sudah melarang Amih untuk menerima pesanan kue kering lebaran.
Kadang-kadang, hiruk pikuk hidup membuatku lupa bahwa seiring bertambahnya usiaku, orangtuaku juga menua. Ibu dan Amih menua. “Usia Amih sudah mau 60,” satu hari Amih berkata, “Memang sudah masanya tidak banyak melakukan kegiatan yang berat-berat begini. Tapi Amih senang masak. Rasanya menyenangkan.”
Berpuluh Ramadan kami lalui, banyak hal yang telah berubah. Kini aku tidak menyantap sahur dengan mata setengah terpejam. Kini, menahan emosi jauh lebih sulit ketimbang menahan rasa lapar dan haus. Kini, Ibu dan Amih tak lagi mengasuh anak-anak SD yang hobinya mangkir solat tarawih.
Berpuluh Ramadan kami lalui, berpuluh kali pula kami bertanya-tanya akankah kami bisa bertemu dengan Ramadan di tahun yang akan datang.
Meski banyak hal yang telah berubah, pertanyaan Amih di pagi hari usai solat Id tak pernah berubah. Hal pertama yang kudengar tiap mengangkat telepon dari Amih usai solat Id selalu
“Jam berapa ke sini? Rendangnya sudah siap, untuk dibawa pulang juga ada.”
(Ilustrasi rendang diambil dari sini)
1 Review ( 9 out of 10 )
Perasaan Nostalgic dalam cerita ini dapet banget. Tak ayal kita pun berimajinasi, bagaimana seandainya itu terjadi dalam kehidupan kita, tentu sangat rindu bukan!
0 Comments