Zaman sekarang, memangnya ada yang masih saling berkirim surat?
Kalau ada yang bertanya begitu, dengan tegas aku akan menjawab masih. Duduklah sebentar. Akan kuceritakan kisah tentang aku dan Ra, seorang teman yang kukenal sejak remaja, sekaligus orang yang selalu mengirimiku surat-surat yang selalu mampu membantuku kembali percaya pada diriku sendiri.
Buatku, surat, apalagi yang ditulis tangan, merupakan bentuk perhatian paling besar yang bisa kuberikan pada seseorang. Saat aku menulis surat, aku akan duduk di depan meja kerjaku sambil membayangkan orang yang ingin kukirimi surat. Kalau sudah begitu, waktu seolah berhenti; kenangan-kenangan yang kami ciptakan seakan terpampang di depan mata, terus berputar bagai kaset yang rusak. Bedanya, aku tidak akan protes soal kaset rusak itu. Justru karena kasetnya rusak, aku jadi bisa mengunjungi kepingan memori yang mungkin sempat kulupakan. Setelahnya, mata pulpen akan menari di atas kertas—menuliskan kata-kata yang kurangkai dalam kepala, agar alunan perasaan berubah menjadi surat yang bisa dibaca.
Beberapa tahun ke belakang, aku memang sudah jarang menulis surat yang kutulis langsung di atas kertas. Namun, aku tidak berhenti berkirim surat—meski bentuknya berubah menjadi surat elektronik.
Aku akan mengirim surat pada teman yang sedang berulang tahun, yang akan segera menikah—pokoknya, di hari-hari bersejarah mereka, aku akan meluangkan waktu untuk menuliskan rasa syukurku atas kehadiran mereka. Namun, pada mulanya, aku bukan manusia yang senang repot-repot begini. Aku mulai menulis surat karena seorang teman yang mengirimiku surat di hari yang tak begitu ingin kurayakan.
Ia selalu merujuk dirinya sendiri dengan sebutan Ra.
Kalau boleh jujur, pertemuan pertamaku dengan Ra sangat tidak mengesankan. Aku bahkan tidak ingat bagaimana kami pertama bertemu. Yang kuingat, kami pernah satu kelas saat kami duduk di bangku SMA. Beberapa hari sesudahnya, aku menemukan tulisan Ra di internet.
Tulisannya cantik sekali. Rasanya seperti angin di musim semi yang berembus pelan, membawa wangi bebungaan dari jauh.
Ra mungkin tidak pernah tahu, tapi dia-lah yang membuatku ingin menulis. Aku tidak pernah bercita-cita sebagai penulis, ataupun pernah berpikir untuk menjadi penulis. Namun, setelah membaca tulisan Ra, daftar keinginanku bertambah satu; aku ingin menulis secantik tulisan Ra. Sejak saat itu, kami mulai bertukar tulisan. Kami akan memuji, mengkritik, bahkan memberi saran untuk tulisan satu sama lain. Rasanya menyenangkan—seperti punya dunia yang hanya bisa dimasuki olehmu dan sahabatmu saja.
Kebiasaan menulis itu perlahan tergerus waktu—menjadi dewasa ternyata semenyebalkan itu.
Aku dan Ra memang tak berhenti bertukar kabar, tapi kami berhenti saling bertukar tulisan. Namun, satu hari, di tahu kesekian pertemanan kami, kebiasaan bertukar tulisan perlahan berubah menjadi kebiasaan bertukar surat. Ra yang memulainya, tepat di hari kelahiranku.
Di hari kelahiranku, Ibu biasanya membiarkanku bangun agak siang. Tidak ada yang istimewa. Cuma itu saja. Lagipula, aku tidak terlalu suka merayakan hari lahir. Namun, hari itu, Ra datang dengan segulung karton dan satu amplop kecil. Saat kutawari singgah, Ra bahkan menolak. Ia cuma menyerahkan gulungan karton sebelum pergi lagi. Saat sudah kembali ke kamar, kubentangkan karton di atas lantai hanya untuk menyeka air mata.
Ra mengumpulkan surat-surat pendek dari teman-teman kami. Ia bahkan repot-repot menghias karton tersebut. Ada gambar-gambar yang terlihat pudar karena digambar di atas karton hitam. Namun, aku tidak peduli. Yang kutahu, hari itu, untuk pertama kalinya aku merasa bahwa diriku dirayakan. Bahwa kehadiranku dirayakan.
Pada Ra, sebaris pesan singkat berisi ucapan terima kasih kukirimkan saat itu juga. Balasannya kuterima tak lama kemudian. Isinya juga tak seberapa panjang, hanya menyemogakan hal-hal baik di usiaku yang baru. Sejak saat itu, kami punya kebiasaan baru. Bertukar surat. Kadang, surat dari Ra kuterima bukan di hari-hari yang istimewa. Namun, Ra selalu bilang, setiap hari pantas dirayakan. Jadi, ia akan mengirimiku surat kapanpun ia mau.
Awal tahun ini, surat elektronik dari Ra kuterima di kotak masukku pagi-pagi sekali.
Dalam suratnya, ia menulis,
Surat tahun baru untukmu. Semoga Semesta senantiasa memperlakukanmu dengan baik.
Tidak ada kalimat panjang. Tidak ada gambar. Yang ada hanya sebuah lampiran dalam format PDF. Butuh beberapa detik bagiku untuk mengunduhnya. Namun, untuk melupakan surat elektronik tersebut, sepertinya aku akan membutuhkan waktu seumur hidup.
Lampiran tersebut adalah surat yang sesungguhnya dari Ra. Dengan gambar kucing dan anjing yang bertaburan menghiasi latar kertas bewarna kekuningan, Ra menulis,
Untukmu manusia kuat,
kuharap surat ini bisa kauterima dalam keadaan baik. Aku cuma ingin mengungkapkan rasa syukurku atas kehadiranmu dalam hidupku. Aku juga ingin kamu tahu bahwa selamanya, kamu punya tempat yang istimewa di hidupku. Sejujurnya, aku tidak sedang berusaha menjadi seorang pujangga—aku benar-benar tidak ingin suratku ini terdengar klise, tapi di Semesta lain, kuharap aku bisa bersikap sedikit lebih baik lagi.
Kuharap aku tidak selalu membakar jembatan yang kamu bangun di antara kita. Kuharap, tubuhku tak dipenuhi kebencian. Kuharap, di Semesta lain, kita bisa tetap berteman baik—atau jika kata teman terlalu berat, mungkin kenalan saja cukup. Kenalan. Rekan. Apapun itu. Meski terdengar muluk-muluk, di Semesta lain, kuharap kita bisa menjadi dua orang yang saling mengenal dengan baik hingga terasa seperti saudara.
Kali ini, aku akan mengungkapkan perasaanku sejujur-jujurnya. Kuharap, hanya ada bunga yang tumbuh di sepanjang jalanmu. Kuharap, apapun yang kauinginkan bisa terwujud. Kuharap, kamu bisa mencintai hidup sebagaimana hidup mencintaimu. Kuharap, kamu menerima cinta sebanyak yang kamu bagi pada orang lain.
Kuharap, kamu tahu bahwa tak pernah sekalipun aku berniat melukaimu. Jika memang ada satu dua tingkah dan ucapanku yang menyakitimu, kuharap kamu tahu bahwa bukan itu niatku.
Selamat tahun baru,
Ra
Lama aku terpekur usai membaca surat dari Ra. Bolak-balik aku menghapus kalimat-kalimat panjang yang sudah kutulis—karena mana bisa? Mana bisa aku membalas surat Ra—surat yang ditulis dengan cantik oleh Ra, surat yang ditulis dengan penuh kehati-hatian oleh Ra—dengan kalimat-kalimat datar yang terdengar klise?
Surat sejujur itu tidak pantas kubalas dengan kalimat-kalimat palsu. Maka, dengan hati-hati, kusulam kata-kata sebelum akhirnya kutekan tombol kirim. Kujelaskan betapa sama seperti Ra, aku juga mensyukuri kehadirannya dalam hidupku. Bagiku, Ra bukan cuma sekadar teman.
Ra adalah jangkar—pengingat bahwa sesekali, aku perlu berhenti berlari dan menikmati pemandangan di sekeliling. Ra adalah cokelat hangat—saat dunia dingin menggigit, dengan hangat Ra selalu berkata bahwa yang kuperlukan hanyalah bertahan sedikit lagi, sebab hujan takkan selamanya mengguyur Bumi.
Tidak seharusnya aku berdebar menanti surat balasan dari Ra—memangnya kenapa pula aku harus berdebar? Saat lewat tengah malam, ada notifikasi dari ponselku. Ra mengirim balasan. Sama seperti surat pertama yang ia kirim, balasannya bagaikan lengan tak kasatmata yang memelukku erat di hari yang melelahkan.
Kamu harus tahu bahwa kata-katamu juga punya efek yang sama untukku, tulis Ra, aku masih ingat saat ulang tahunku yang ke berapa, kamu berharap agar aku tak jadi bunga matahari. Aku tidak yakin benar kenapa kata-katamu itu tertanam di hati dan kepalaku. Kurasa, kamu bisa melihat betapa kesepiannya aku.
Kamu tahu dan bisa melihat betapa kesepiannya aku. Namun, alih-alih menjauh, kamu memilih untuk tetap tinggal. Aku tahu aku bukan manusia paling baik, jadi maafkan aku dan segala kekuranganku—maafkan aku tidak selalu bisa menjadi teman yang baik. Terima kasih sudah selalu menjadi teman terdekatku. Ayo kita nonton lebih banyak konser bersama.
Ra, aku tidak yakin kamu akan membaca ini. Lebih tepatnya, mungkin aku takkan berani untuk mengirimkan ini padamu. Namun percayalah, bahkan sampai aku tidak mampu melihat dunia lagi, aku akan selalu bersyukur atas kehadiranmu dalam hidupku. Kuharap, hanya bunga yang tumbuh di sepanjang jalan yang kautempuh.
Ra, mari berteman sedikit lebih lama lagi. Mari bertahan sedikit lebih lama dari selamanya.
2 Reviews ( 9 out of 10 )
Kenangan yang indah, sangat indah, terharu dibuatnya~
Masih! Saya masih nulis surat tapi enggak tulis tangan. Atau ... kita galakkan lagi nulis surat tulis tangan? ☕
0 Comments