Sore itu, langit masih menyisakan aroma petrichor setelah hujan lebat membasuh halaman sekolah. Dari balik jendela lantai tiga, aku berdiri mengamati sebuah ritual aneh yang tengah berlangsung di bawah. Sekelompok siswa, dengan sepatu bermerek yang berkilau basah, menari-nari dengan batu kapur di tangan mereka. Mereka melukis jalanan dengan huruf-huruf misterius, seolah sedang menyampaikan pesan rahasia yang hanya bisa dibaca dari ketinggian.
Mataku menyipit, berusaha mengurai kode dari goresan-goresan putih itu. Namun belum sempat aku memecahkan maknanya, para pelukis jalanan itu tiba-tiba berubah pikiran. Dengan gerakan yang nyaris tersinkronisasi, mereka mulai menghapus jejak-jejak yang baru saja mereka ciptakan. Sepatu-sepatu mahal dengan sol bergerigi kini menjadi penghapus, mengikis setiap garis putih hingga tak bersisa. Air disiramkan, sapu lidi bergerak sistematis, seolah-olah sedang menghapus bukti dari sebuah kejadian yang tak boleh diingat
Pemandangan ini membawaku pada sebuah memori yang mengusik. Suara tegas seseorang yang pernah mengutukku ketika aku menyebut istilah “tulisan jelek”. Katanya, “Tulisan adalah cermin jiwa, potret kepribadian yang tak bisa dibohongi.” Tapi benarkah? Bukankah aku sendiri bisa bermain peran melalui tulisanku. Kadang rapi bagai cetakan mesin, kadang berantakan seperti cakar ayam yang tak bisa dibaca.
Seketika, lamunanku terputus oleh kedatangan seorang siswi. Tanpa basa-basi, dia membawaku dalam diskusi yang dalam tentang paradoks budaya. Yang paling menggugah adalah kisah tentang adat Minang, sebuah ironi tentang kekuatan perempuan di tengah kungkungan patriarki. Di tanah itu, perempuan membeli laki-laki untuk dinikahi, namun tetap tunduk pada sistem yang menempatkan mereka di bawah.
Seperti huruf-huruf kapur yang kini telah hilang dari jalanan basah itu, banyak hal di dunia ini yang tampak kontradiktif. Mungkin, sama seperti tulisan yang bisa berubah-ubah bentuknya, kebenaran pun tidak selalu hadir dalam wujud yang absolut. Ia bisa jadi hanya serpihan-serpihan makna yang terus bergerak, seperti awan yang berganti rupa di langit sore yang mulai menggelap.
“Kau tahu, Nak,” kataku dengan nada yang misterius, “ada paradoks menarik dalam budaya kita yang jarang orang sadari.”
Aku lalu mengisahkan bagaimana di tanah Minang, perempuan memegang kekuasaan yang tak terbayangkan untuk zamannya. Mereka adalah pemilik rumah gadang, pewaris harta pusaka, bahkan memiliki hak untuk ‘membeli’ calon suami mereka melalui tradisi uang jemputan. “Bayangkan,” ujarku sambil mengetuk-ngetuk meja, “di masa ketika perempuan di belahan dunia lain bahkan tak bisa memiliki properti, nenek moyang kita sudah memegang kendali ekonomi keluarga.”
Kemudian suaraku berubah getir. “Tapi inilah yang membuat bingung,” lanjutku, “di tengah sistem matrilineal yang begitu kuat, mengapa praktik-praktik patriarki tetap mengakar? Perempuan Minang masih diharapkan untuk ‘maagiah’, mengalah dan mengabdi pada suami. Mereka punya kuasa atas harta, tapi tak punya suara dalam banyak keputusan penting.”
Kami terdiam sejenak, meresapi ironi ini. Di luar, langit semakin gelap, menelan sisa-sisa kapur putih yang tadi tercoret di jalanan. “Mungkin,” aku mencoba menerka, “sama seperti tulisan yang bisa berubah bentuk tapi tak mengubah maknanya, kekuasaan pun punya banyak wajah. Kadang ia hadir dalam bentuk yang tak terduga, bersembunyi di balik tradisi yang tampaknya malah membatasi.”
“Atau mungkin,” tambahnya dengan senyum pahit, “ini bukti bahwa perubahan budaya tak sesederhana menghapus garis kapur di jalanan. Ada lapisan-lapisan kompleks yang harus kita kupas, ada benang-benang kusut yang harus kita urai perlahan.”
Perbincangan kami terus mengalir, membahas bagaimana di berbagai sudut dunia, termasuk di tanah Minang, masih ada pertarungan senyap antara nilai-nilai progresif dan konservatif. Bagaimana sebuah budaya bisa sekaligus memberdayakan dan mengekang, membebaskan sekaligus memenjarakan.
Seperti huruf-huruf kapur yang sempat kulihat tadi, kadang kita perlu melihatnya dari ketinggian untuk memahami maknanya. Akan tetapi, saat kita pikir sudah memahaminya, interpretasinya bisa berubah secepat air hujan menghapus jejak di jalanan.
Tak terasa, malam pun mulai merayap ketika kami mengakhiri perbincangan. Dari jendela lantai tiga, jalanan yang tadi penuh coretan kini telah bersih sempurna. Tak ada jejak bahwa di sana pernah ada tulisan yang mencoba bercerita. Tapi, bukankah begitu juga dengan sejarah dan budaya kita? Lapisan-lapisannya seperti palimpsest. Naskah kuno yang ditulis ulang berkali-kali, menyisakan jejak-jejak samar dari tulisan sebelumnya.
Paradoks budaya Minang yang kami bicarakan tadi mungkin seperti air hujan yang turun sore ini. Ia membersihkan sekaligus membekas, menghapus sekaligus meninggalkan jejak. Di antara tetes-tetesnya, tersimpan kisah tentang kekuatan dan kelemahan, tentang progres dan tradisi yang tak selalu harus berseteru. Mungkin memang benar kata orang, tidak semua yang bertentangan itu berlawanan, justru saling melengkapi, seperti hujan dan matahari yang menciptakan pelangi.
Ketika akhirnya aku melangkah pulang, gedung sekolah telah sunyi. Tapi kepalaku dipenuhi dengung pikiran tentang bagaimana manusia dan budayanya terus berevolusi. Kadang maju, kadang mundur, seperti gelombang laut yang tak pernah lelah merindukan pantai. Coretan kapur di jalanan mungkin bisa dihapus dalam sekejap, tapi jejak-jejak pemikiran yang tertukar sore ini, kurasa akan terus membekas, mengingatkanku bahwa dalam memahami budaya, kita tak bisa sekadar berpikir hitam dan putih. Ada banyak gradasi kebenaran di antaranya, seperti semburat jingga di langit senja yang perlahan memudar menjadi gelap.
0 Comments