Di tengah deru mesin kota yang sibuk menyambut Senin pagi, jemariku bergerak gelisah di atas layar ponsel, memesan ojek online. Degup jantungku berirama dengan hitungan mundur waktu, was-was akan tertinggal kereta pagi ini. Seperti biasa, hari Senin menjadi hari sakral untuk guru dan siswa. Hari dimana bendera merah putih berkibar angkuh di tengah lapangan, mengingatkan kami akan jasa pahlawan yang telah memerdekakan bangsa ini. Setidaknya, 30 menit berdiri tegak di bawah terik matahari sudah dianggap cukup sebagai bentuk bela negara.
Namun, selalu ada saja drama kecil yang tercipta, seperti siswa yang membela diri dengan sejuta alasan ketika ketahuan terlambat, atau mereka yang mengendap-endap bagai ninja di balik tembok sekolah, berusaha menyelinap masuk tanpa terdeteksi. “Seperti pahlawan kita dulu,” kilah mereka, membenturkan logika perlawanan terhadap penjajah dengan keterlambatan mereka hari ini. Mungkin ada benarnya juga. Mereka sedang belajar seni strategi, walau dalam konteks yang jauh berbeda.
Ada kalanya, kita memang harus pandai membela diri agar tidak ‘mati’. Tapi dalam kasusku, ‘mati’ itu sangat literal, tertinggal satu atau dua menit saja dari jadwal bisa berarti kehilangan kereta. Seperti tentara di medan perang, timing adalah segalanya. Meleset sekian detik mengangkat senjata, peluru musuh lebih dulu menembus dada. Di stasiun, meleset beberapa detik saja, pintu kereta akan menutup tepat di depan hidung.
Pukul 06.05, kakiku akhirnya menginjak lantai stasiun. Jalanan menuju stasiun memang masih lengang, tapi pemandangan di dalam stasiun jauh dari kata sepi. Tidak seperti biasanya, pagi ini tiga rangkaian kereta masih terparkir malas di peron, setiap gerbongnya menggelembung penuh dengan manusia yang berdesakan. Aroma kegelisahan bercampur parfum mengambang di udara, berpadu dengan dengung percakapan dan desah napas tidak sabar.
Tiba-tiba, tubuh-tubuh yang berdesakan saling menubruk seperti domino. Lampu dalam gerbong berkedip-kedip sebelum akhirnya padam total. Kegelapan pekat menelan kami semua, diiringi jeritan panik dan bisikan-bisikan ketakutan. Ponselku menunjukkan pukul 06.45 – waktu yang seharusnya kugunakan untuk mempersiapkan upacara di sekolah, kini terperangkap dalam metal dingin yang membisu.
Menit-menit berlalu dalam ketidakpastian. Suhu dalam gerbong meningkat drastis, membuat keringat mengucur deras dari setiap pori-pori. Beberapa penumpang mulai mengeluh sesak napas. Yang tadinya saling berebut ruang, kini justru berusaha memberi jarak agar udara bisa mengalir lebih baik. Pengumuman dari pengeras suara kereta hanya memberi informasi minimal, “Mohon maaf, terjadi gangguan teknis. Harap tetap tenang.” Aku melirik jam lagi, pukul 07.15. Upacara bendera pasti sudah dimulai.
Setelah hampir terjebak 10 menit, lampu-lampu mulai berkedip menyala. Mesin kereta mendengung kembali, membawa hembusan angin sejuk dari AC yang kembali berfungsi. Orang-orang menghela nafas lega. Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang berubah dalam gerbong ini. Mereka yang tadinya saling dorong kini justru saling membantu. Ada yang membagikan air mineral, ada yang mengipasi sesama penumpang dengan map atau koran. Bahkan ada yang menawarkan kursinya pada ibu hamil yang sedari tadi berdiri.
Ketika kereta akhirnya berhenti di stasiunku, tantangan baru menanti. Aku harus menyuarakan kata “permisi” kepada orang-orang yang sudah bertukar karbondioksida sejak tadi, sementara tak ada lagi celah untuk bergeser. Namun di tengah kepadatan itu, sebuah suara bariton memecah kerumunan. “Mari, Mari, beri jalan sebentar,” seorang bapak paruh baya dengan kemeja putih kusut membantuku membuka jalan. Tubuhnya yang tegap seolah menjadi tameng pelindung hingga aku mencapai pintu kereta.
“Hati-hati ya, Mbak,” pesannya saat aku hendak melangkah keluar, “ada celah antara kereta dan peron.” Kebaikan yang sederhana, tapi menghangatkan hati. Di tengah rutinitas yang membuat kita lupa akan kemanusiaan, masih ada orang yang peduli pada keselamatan orang asing.
Setibanya di peron, jariku kembali menari di atas layar ponsel, memesan ojek online untuk perjalanan terakhir menuju sekolah. Tak lama, seorang pengemudi wanita dengan senyum ramah menyapaku. Namun, kota sepertinya punya rencana lain untuk pagi ini. Tepat saat kami berhenti di lampu merah, langit menurunkan air matanya dengan deras.
“Mbak bawa jas hujan tidak?” tanyanya dengan nada khawatir. Aku mengangguk dan segera mengenakan jas hujan lipatku, sementara dia hanya mengandalkan jaket tipisnya yang mulai basah kuyup. Ada rasa tidak enak yang menggerogoti hatiku melihatnya membelah hujan tanpa perlindungan, tapi dia tetap tersenyum dan mengemudi dengan hati-hati.
Hujan mulai mereda menjadi gerimis di tengah perjalanan, seolah ikut berempati dengan sang pengemudi. Ketika kami akhirnya tiba di sekolah, dia justru meminta maaf karena membiarkanku terkena hujan. Permintaan maaf yang membuatku tertegun, bagaimana bisa dia mengkhawatirkan keadaanku sementara dialah yang basah kuyup demi mengantarku?
Sungguh, pagi ini mengajarkanku bahwa di tengah kota yang seolah membuat kita lupa akan kemanusiaan, masih ada orang-orang yang memilih untuk peduli. Seorang bapak yang membantu orang asing di kereta, seorang pengemudi ojek yang lebih mengkhawatirkan penumpangnya daripada dirinya sendiri, mereka adalah pengingat bahwa kebaikan masih ada, bahkan di tempat-tempat yang tak terduga.
Mungkin yang kita butuhkan memang bukan kekacauan pada jarum jam untuk memangkas menit menjadi detik. Yang kita butuhkan adalah kesadaran bahwa di balik topeng kesibukan dan individualisme kota besar, masih ada hati-hati yang peduli. Bahwa di antara desakan untuk sampai tepat waktu, masih ada ruang untuk kebaikan. Dan bahwa setiap hari, di tengah rutinitas yang tampak dingin dan mekanis ini, selalu ada kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih baik, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Paradoks yang indah memang, terkadang dalam perjalanan yang melelahkan dan situasi yang tidak nyaman, kita menemukan kembali apa artinya menjadi manusia. Sama seperti para pahlawan yang berjuang demi nilai-nilai kemanusiaan, mungkin kita pun bisa menjadi pahlawan kecil dalam keseharian dengan kepedulian dan kebaikan yang sederhana namun bermakna.
0 Comments